Jumat, 14 Desember 2012

Demokrasi Itu Ada di Sambal

"Membicarakan demokrasi sebenarnya ya di sambal karena ada cabai, garam, dan terasi. Kalau hanya cabainya saja, ya rasanya pun hanya pedas. Demokrasi yang ada di negeri ini adalah kekerasan." Itulah kata-kata Didik Mojo, salah satu perupa yang mengangkat makna demokrasi dalam lukisan berjudul Red Hot Chili Pepper, persis seperti nama kelompok musik rock asal California, Amerika Serikat. Bersama lima perupa lainnya, Didik hadir dalam pameran bertajuk "Gank Demokrasi" di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda, Surabaya, pada 31 Maret hingga 5 April 2009. "Gank Demokrasi" memang digagas enam perupa, yakni Bambang AW, Peter Wang, David Sugiarto, Didik Mojo, Erik Wiliean, dan Sugeng Pribadi. "Pameran ini sudah kami persiapkan sejak awal tahun dan setelah pameran di Surabaya. Rencananya kami akan berpameran di Malang dan Yogyakarta," kata Erik Wiliean. Enam perupa asal Malang itu bicara soal demokrasi. Mereka menuangkannya lewat karya seni rupa berupa lukisan, fotografi, dan seni instalasi. Karya itu merupakan ungkapan para perupa saat merasakan pemilu memunculkan banyak partai politik, politisi-politisi dadakan, selain politisi-politisi masa lalu yang masih bercokol di negeri ini. Bahasa dalam karya seni fotografi, lukisan, dan seni instalasi tak ayal mengimpresikan idiom-idiom khas seniman dalam menyikapi pesta demokrasi. Peter Wong mengungkapkan fenomena caleg-caleg dalam ekspresi berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, figur yang hadir dalam karya seni fotografi itu adalah sosok orang yang sama. Hal itu bisa pula berarti siapa pun caleg terpilih dalam hajatan pesta demokrasi perubahan sekaligus perbaikan hidup yang diimpikan oleh sebagian besar rakyat boleh jadi sekadar janji-janji partai politik. Itu terekspresikan dalam karya fotografi berjudul Pelaku Demokrasi. Erik Wiliean dalam lukisannya berjudul Imitation Journey menghadirkan tujuh rupa wajah dan bunglon sebagai tamsil atas wajah- wajah politisi. "Pada saat ini kita sangat susah mengidentifikasi politisi-politisi sekarang ini, setiap hari mereka mengubah wajahnya menjadi bunglon, terkecuali pada hari tertentu saja mereka melepas bunglon di wajahnya," kata Erik. Sugeng Pribadi alias Klemins dalam salah satu karya seni instalasinya berjudul Terserah Apa Maumu Bung! mencoba berbicara seputar kekuatan besar yang kerap kali menelan kekuatan kecil dalam panggung politik kekuasaan. Realitas itu diungkapkan melalui pecahan- pecahan cermin yang dirangkai dengan sosok manusia yang siap menelan darah dan tangan-tangan kecil sebagai isyarat parpol-parpol gurem. "Nonsen yang kecil bisa mengalahkan yang besar karena yang besar pasti menang. Banyak celeg yang secara politik belum mengerti, termasuk caleg tukang ojek dan pedagang sayur. Kalaupun mereka nanti jadi terpilih, pasti akan dilahap oleh parpol yang besar," kata Klemins.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;